Saturday, 6 August 2011

Lukisan Pemandangan


Sekarang adalah tahun 3043, manusia sudah bergantung pada robot-robot dan komputerisasi yang super canggih. Untuk membuka kaleng makanan saja hanya menjentikkan jari maka robot khusus pembuka kaleng  telah melakukan pekerjaannya.  Seluruh bumi telah tertutup oleh beton-beton raksasa yang disebut Bunkonizer, orang jaman dahulu menyebutnya rumah atau bangunan perkantoran. Memang aneh kedengarannya. Setiap orang juga memiliki mobillizer untuk berkendara, mobillizer tak jauh beda dengan mobil pada jaman dahulu hanya saja bisa terbang karena jalan raya sudah tidak mencukupi untuk memuat kendaraan.
Banyak orang yang masih berumur 25 tahun mengidap obesitas karena mulai kecil mereka hampir tidak pernah beraktifitas. Hanya duduk, seluruh pekerjaan bisa diatasi. Umur mereka juga tidak lama, berkisar 40-55 tahun saja.
Di sebuah bunkonizer sederhana di sektor 027, Andreaz membuka pintu sebuah gudang tua milik kakeknya, Alterus, yang sudah puluhan tahun tak ada yang memasukinya karena isi di dalamnya kebanyakan adalah benda-benda kuno dan beberapa koleksi tulang-belulang hewan purba, untung saja dia tahu passwordnya karena dia adalah cucu kesayangan dari Alteruz.
Andreaz adalah seorang anak laki-laki kecil berambut keriting yang cerdik, dan tinggal hanya berdua saja dengan kakeknya karena kedua orang tuanya telah tiada akibat kanker otak. Dia mengumpulkan benda-benda bekas di gudang usang itu untuk dijadikan sebuah mainan sederhana bersama kakek tercinta.
Tiba-tiba dia menemukan sebuah lukisan di bawah tumpukan-tumpukan tengkorak hewan purba, mungkin itu adalah tengkorak Sapi, karena memiliki dua tanduk kecil yang menghiasi kepala. Dibersihkannya lukisan itu dari debu dengan meniup, dipandanginya lukisan itu dengan penuh rasa heran karena seumur hidupnya dia tidak pernah sekalipun melihat apa yang ada di dalam lukisan itu.


“Kek, ini lukisan milik siapa?”
“Oh, ini milik ayah dari kakeknya kakek dulu. Memang sudah lama benda ini ada di situ. Kalau kamu suka ambil saja Ndre daripada rusak, mungkin itu adalah satu-satunya lukisan yang masih ada di dunia ini.”
Dengan senangnya Andreaz membawa lukisan itu ke kamarnya dan dibersihkannya dengan pelan-pelan agar tidak merusaknya. Dilihatnya lagi dan lagi lukisan itu, tiba-tiba dia tersenyum dan rasa penasaran muncul lagi dalam benaknya. Warna-warna dan benda dalam lukisan itu belum pernah dilihatnya.
Nuansa hijau begitu kental terlihat, benda hijau raksasa berbentuk segitiga memanjang dihamparan karpet hijau, tonggak-tonggak coklat berambut hijau juga ada disekitar segitiga. “Benda apakah yang ada di dalam lukisan ini?” gumam Andre. Sebuah kolam air raksasa dan panjang terlihat samar dibalik rimbunnya tonggak.
“Dimana ya aku bisa menemukan tempat seperti ini?. Aku belum pernah melihatnya. Kakek pasti mau mengantarkanku ke tempat yang indah itu.”

..oo0oo..


Keesokan harinya Andreaz bercerita kepada kakeknya perihal keinginannya untuk pergi ke tempat yang ada dalam lukisan yang kemarin dilihatnya.
“Kek, coba lihat lukisan ini.! Indah ya, aku ingin pergi kesini Kek.”
“Iya tempat itu memang sangat indah, ini adalah lukisan pemandangan Ndre.” Jelas Alteruz sambil menitikkan air mata, tetapi segera diusapnya dengan kain bajunya.
“Pemandangan? Apa pemandangan itu, Kek? Terus ini benda-benda apa?” tanya Andreaz penuh penasaran sambil menunjuk segitiga hijau raksasa.
“Ya, pemandangan adalah apapun yang kita lihat itu adalah pemandangan. Tetapi lukisan itu adalah pemandangan alam. Nama dari benda-benda yang kamu lihat itu adalah gunung, pepohonan, dan sungai. Sedangkan segerombolan hewan yang sedang minum itu adalah kambing. Apa kamu pernah melihat kambing sebelumnya?”
“Kambing? Ohh, hewan kecil, putih, berbulu, dan berkaki empat itu namanya kambing ya, Kek? Aku baru tahu. Sekarang dimana aku bisa menemukan mereka? Ayo antarkan aku kesana.” Rengek Andreaz.
Air mata Alteruz menetes dengan sendirinya, membasahi pipinya yang sudah mulai lungset seperti garis-garis kontur dalam peta topografi. Dia sedih saat cucu tercintanya tidak pernah melihat pemandangan alam dan juga hewan-hewan secara langsung. Hal ini dikarenakan pada jaman saat masih ada pegunungan dan alam masih segar, orang-orang bermodal mulai menebangi pepohonan untuk didirikan rumah serta perkantoran. Tanah yang seharusnya dibiarkan terbuka untuk menyerap air hujan, semuanya ditutupi oleh lapisan-lapisan beton jalan raya dan perumahan.
Semakin lama pepohonan hijau semakin habis, sumber air bersih semakin menipis dan alam pun menangis atas kelakuan manusia yang serakah.
Udara semakin sesak, hewan-hewan pun mati bahkan sekarang sudah tidak ada satupun hewan yang tersisa. Di jaman sekarang, air dan oksigen harus membeli dengan harga yang sangat mahal. Meskipun meja dan sendok yang aku gunakan itu terbuat dari emas, pada akhirnya itu semua tak ada artinya dan lebih mahal air serta udara bersih.
Seandainya nenek moyang ku dahulu tidak merusak alam ini, tidak menggali tanah-tanah untuk pertambangan emas, perak, timah, berlian, dan lain sebagainya, dan tidak merubah lahan persawahan menjadi lahan perumahan yang dianggap bisa menghasilkan banyak uang bagi mereka yang serakah. Maka aku, anak-cucu mereka, tidak akan merasakan hal yang seperti ini. Seandainya nenek moyang ku tahu, aku tidak bisa memakan uang dan emas berlian ini, mungkin mereka tak akan melakukan hal yang bodoh itu. Seandainya aku bisa mengirim pesan ini kepada mereka melalui mesin waktu aku pasti akan memperingati mereka atas apa yang akan terjadi pada saat ini.
Mungkin tidak hanya pesan, jika aku bisa menciptakan mesin waktu maka aku sendirilah yang akan ke masa lalu untuk menyelamatkan bumi ini dari kesengsaraan akibat hilangnya pohon dan rusaknya alam. Tetapi aku tidak bisa melakukan semua itu. Hanya lukisan ini yang sanggup menghiburku. Hanya lukisan pemandangan ini yang bisa mengobati rasa rinduku kepada hijaunya alam.

“Semoga alam tidak menjadi sebuah lukisan pemandangan.” Doa ku.


..oo0oo..


Catatan:
1. Cerita ini terinspirasi oleh lagu : Periculum in Mora “Tamasya Band”
2. Oia cerita ini juga diikutkan dalam lomba menulis fiksi...hehehe

No comments:

Post a Comment