malam itu hujan tiba-tiba mengguyur tenda kuning ku yang berisikan lima orang dengan dahsyatnya, seperti ber ton-ton air dituangkan dari angkasa hitam. Rasa dingin akibat air hujan yang merembes ke celana mulai mengusik tidurku.
Saat pagi ku buka pintu tenda dan terlihat Jejak-jejak sepatu membatik jalanan berlumpur setelah semalam hujan mengguyur. Pagi-pagi benar aku sudah membereskan barang bawaanku ke dalam carrier pinjaman yang tidak terlalu besar untuk ukuran standart pendakian. Setelah menyantap menu makan pagi (pecel) segera kurebahkan tasku ke punggungku serta siap menyusuri jalanan menanjak dan berlumpur. Pemandangan indah siap menunggu di depan. Selangkah demi selangkah ku langkahkan kakiku di tanjakkan penuh lumpur nan licin itu.
Puncak Ajiz, begitulah teman-teman menamai sebuah puncak yang terdapat di salah satu bagian TN Meru Betiri. Dengan susah payah kudaki, lima langkah berhenti, tiga langkah berhenti, enam langkah melihat pemandangan disekitar. Yaa, tanjakkan adalah medan yang paling menguras tenagaku. Aku memang tidak seperti kawanku yang lain, mereka dengan mudahnya melalui tanjakkan demi tanjakkan seakan itu jalan rata.. sungguh hebat mereka.
Tetapi aku tak akan menyerah di sana. Meskipun otot kaki kiriku tertarik, tetap kulangkahkan kaki dengan menyemangati diriku sendiri, persis seperti orang gila yang bicara sendiri di tengah hutan karena aku sudah tertinggal jauh dengan rombongan. “Ayo kamu pasti bisa, Dunk..!”
Beberapa jam berjalan, Puncak Ajiz, lubang menganga, semak-semak hutan, telah ku lalui. Satwa liat juga sepintas terlihat. Menyeruak keluar dari hutan, ku temui sebidang tanah yang luas mungkin itu dulunya adalah ladang milik penduduk yang kini sudah tak terawat lagi. Rumput liar setinggi lutut adalah jalan setapak bagiku, rumpun bambu membentuk sebuah pintu masuk setengah lingkaran seperti mulut goa kumasuki setelahnya terdengar sebuah suara yang tak asing di telingaku. Itu adalah suara sungai.
Watu Lekker. Sebuah sungai kecil yang mengalir dengan lancarnya seperti kran air PDAM di perkotaan, bebatuan besar dan licin menghiasi, tak ketinggalan jernihnya air sungai watu lekker yang mempesona langsung membuatku tak sabar untuk menikmatinya secara langsung. Tas carrier aku taruh tak jauh dari tempatku, langsung kuarahkan mulutku untuk mencumbu sucinya air ini. Tenggorokan yang awalnya kering kerontang, kini, segarnya air terasa menyusuri organ tubuhku yang dilaluinya sampai berhenti di lambung.
Kurebahkan tubuh yang lelah ini di bebatuan sungai yang membentuk sebuah dataran rata sebesar lapangan bola basket dengan matras sebagai alas. Mataku terpejam.
Pemandangan malam tak kalah indahnya. Cahaya bulan menerobos dedaunan hingga menerangi dasar hutan. Di sekelilingku terlihat sebuah pemandangan yang sudah lama tak kulihat, mungkin SD aku terakhir melihat ini. Ya, segerombolan kunang-kunang terbang melayang bagaikan lentera hijau di kegelapan malam. Damai, rasa itulah yang sekarang kunikmati. Entah kenapa.
Kunang-kunang malam ini adalah hadiah dari perjalanan hari ini. Besok perjalananku akan berlanjut..Selamat malam kawan....
keren brow beh aku moco langsung bernostalgia LLA 2010 .... thanks yoo
ReplyDeleteayo melu LLA maneh.. :-)
ReplyDelete