Monday 31 March 2014

Mbah Ku Tak Mau Disebut Patriot

Zaman dulu, walaupun tidak semuanya, kebanyakan mengingat tahun kelahiran dengan kejadian alam. Baik itu sebuah bencana ataupun hanya melalui tumbuhnya pohon. Maksudnya begini, saat seseorang bertanya "Mbah lahirnya tahun berapa?" Pasti orang-orang dulu yang saat ini masih hidup akan menjawab begini "Ndak ngerti le. Jare Bapak mbiyen Simbah iki lahire bareng karo mbledose Raung". Tidak tahu le. Kata Bapak dulu Simbah ini lahirnya bersamaan dengan meletusnya Raung. Atau ada pula jawaban yang seperti ini "Mbah lahire pas Pak Lurah nandur wit Ringin". Mbah lahirnya saat Pak Lurah menanam pohon Beringin. Nah seperti itulah mbahku. Mbah Muslenah namanya. Jangan tanya berapa umur mbah kepada saya. Kenapa? Karena mbah sendiri tidak pernah tahu kapan dia dilahirkan.

Sebelum tidur, mbah selalu menceritakan kejadian-kejadian masa mudanya dulu. Walaupun cerita yang diceritakan sama tiap malam, saya tidak pernah bosan mendengarnya. Mbah selalu bercerita tentang seorang gadis penjual gorengan yang tak lain adalah Mbah Mus sendiri. Gadis itu menjajakan gorengan kepada para pekerja yang dipaksa untuk membuat kanal oleh penjajah. Kata Mbah, banyak sekali korban manusia saat pembangunan kanal. Sekarang kanal tersebut menjadi satu-satunya sungai buatan yang menghidupi warga Cluring.

Cerita Mbah yang lain masih seputar masa penjajahan. Beberapa kali dalam seminggu pasukan Nippon lewat di depan rumah, memanggul senjata dengan wajah dicoreng pakai areng dan di tubuhnya diberi rerumputan seakan-akan berkamuflase sambil menyanyikan yel-yel yang liriknya sudah campuran antara Bahasa Jepang dan Bahasa Jawa. Dan sekarang saya tidak ingat bagaimana lagunya.

Sebelum tidur Mbah selalu nggending, nembang, atau puji-pujian. Mengiringi tidur cucunya ini. Banyak sekali sejarah lisan yang belum sempat saya catat. Banyak sekali gending-gending yang belum saya rekam. Mbah, tetaplah sehat.! Hanya itu pintaku.

Mbah Mus adalah seorang wanita tangguh. Suaminya sudah meninggal sejak tahun 1996 yang lalu sehingga untuk urusan rumah tangga dilakukannya seorang diri. Semua putra-putrinya sudah hidup sendiri-sendiri dengan keluarganya. Senyuman ceria yang dihiasi dengan segelintir tembakau yang menyelip di bibirnya adalah ciri khas Mbah Mus. Senyuman mbah adalah obat bagi saya, obat kangen, obat rindu, dan saat saya pulang ke Banyuwangi senyuman Mbah yang selalu kutunggu.

Mbah memang tidak bisa baca tulis hingga sekarang. Bahkan Mbah tidak bisa Berbahasa Indonesia. Mbah tidak mau disebut sebagai Patriot karena hal itu. Namun bagiku beliau adalah Patriot dalam hidup. Namun,

Kini otot-ototnya hampir tidak kuat lagi untuk menyangga berat tubuhnya. Banyaknya kerutan kulit yang mengeriput menunjukkan betapa rentanya perempuan tangguh ini. Punggungnya melengkung menanggung beban usia. Senyuman cerianya sekarang jarang terlihat. Kenapa Mbah?? Saya tidak mau melihat Mbah Mus sedih, saya masih rindu dongeng akan gadis penjual gorengan.

Minggu kemarin sebelum saya berangkat ke Jember beliau berpesan. "Le, sering-sering muleh yo. Endangono mbahe." Le, sering-sering pulang ya. Jenguk Mbah.


Jangan Bersedih Mbah

3 comments:

  1. Waaah, peserta terakhir, ndaftar pukul 23.59 wkwkwk...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehehe... masih di draft mas. Tadi cepat-cepat pulang setelah rapat. :-) alhamdulilah berhasil mendapat titel peserta terakhir.

      Delete
    2. Terima kasih, kisahmu keren.

      Delete